Novel Motivasi:
NEGERI PARA PIONIR
Catatan penulis:
1. Naskah berikut ini adalah bahan novel yang akan dimuat secara berkala. Kisah-kisah di dalamnya adalah fiktif belaka. Jika ada persamaan nama orang dan tempat, itu hanyalah faktor kebetulan dan bukan kesengajaan.
2. Para pembaca dipersilahkan memberi saran dan masukan kepada penulis terkait plot/alur cerita dalam kisah ini, penulis akan mengambil saran-saran pembaca jika dirasa cocok. Tetapi tidak ada kewajiban penulis untuk mengdopsi saran-saran yang masuk dari para pembaca. Selamat menikmati.
Bab 1: Desa Suryajati
Desa Suryajati terletak di kaki bukit yang hijau dan subur. Karena letaknya yang berada di sebuah kecamatan bernama Suryawangi, di Jawa Barat, iklimnya relatif dingin hamper sepanjang tahun. Angin sepoi-sepoi yang sejuk selalu berhembus, membawa aroma tanah yang basah dan dedaunan segar.
Desa ini dikenal sebagai tempat yang tenang dan nyaman, dengan pemandangan sawah yang membentang luas, ladang-ladang yang terawat rapi, dan sungai yang mengalir jernih di tepinya. Sungai itu mengalir dari wilayah perbukitan di sebelah selatan desa dan terbelah menjadi dua di tengah desa. Satu bagian sungai mengalir ke arah utara, dan satu mengarah ke timur.
Masyarakat Suryajati adalah orang-orang yang sederhana dan polos. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan rutinitas yang sama, bertani dan beternak, dan segala hal yang berhubungan dengan menjaga tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Setiap pagi, para petani berangkat ke sawah dengan cangkul di bahu, sementara para wanita mengurus rumah dan anak-anak. Kehidupan berjalan lambat di Suryajati, dan penduduk desa tampak puas dengan apa yang mereka miliki.
Beberapa orang dari kota yang kebetulan pernah menginap di rumah kerabat mereka di desa tersebut sangat terkesan dengan keramahtamahan penduduk desa dan juga oleh pemandangan alamnya yang khas. Di musim buah, ketika pohon-pohon mangga mulai berbunga, udara pagi yang cerah seakan mengeluarkan bau harum yang khas yang sulit dicari padanannya di tempat lain. Di malam hari, suara-suara katak yang bersahut-sahutan di sawah dan ladang seakan mengajak mereka pergi ke alam khayali nun jauh di sana.
Namun, di balik keindahan dan kedamaian itu, desa Suryajati menghadapi tantangan yang besar. Pemahaman tradisional yang sudah berurat berakar membuat desa ini sulit berkembang. Pendidikan masih menjadi barang mewah bagi banyak keluarga. Sekolah dasar di desa hanya mampu memberikan pendidikan dasar, dan hanya sedikit anak yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Sekolah mengah pertama terdekat yang dapat dijangkau terletak di kecamatan sebelah yang lokasinya puluhan kilometer. Para orang tua lebih memilih anak-anak mereka membantu di ladang daripada mengirim mereka ke kota untuk melanjutkan sekolah.
Radio, televisi, bahkan telpon seluler memang sudah ada di desa tersebut, tapi itu tidak memberikan perubahan apa pun. Di benak masyarakat Suryajati, alat-alat modern itu tak lebih dari sarana hiburan belaka, pengganti wayang golek dan kuda lumping di masa lalu. Jika pun ada dunia luar yang nereka “intip” melalui sarana-sarana modern tersebut, itu tidak lain adalah liga Inggris atau hajat sepakbola akbar piala dunia.
Ekonomi desa juga relatif sulit maju. Penduduk desa jarang bepergian ke luar daerah, membuat mereka seperti katak dalam tempurung. Mereka enggan mencoba hal-hal baru atau memanfaatkan peluang dari luar desa. Pasar di desa hanya menjual hasil pertanian setempat, dan jarang sekali ada produk dari luar yang masuk. Mereka bergantung pada apa yang mereka tanam dan ternak sendiri, sehingga ekonomi desa hanya berputar dalam lingkaran kecil komunitas desa.
Mungkin karena keterbatasan wawasan itulah, beberapa penduduk desa, bahkan lurah dan aparat desa desa pernah terjebak “investasi bodong”. Biasanya model-model investasi yang merugikan itu diperkenalkan oleh orang-orang kota yang, entah sengaja atau tidak, berkunjung atau singgah beberapa hari di desa itu.
Mereka baru menyadari kesia-siaan itu dan berhenti total dari “tren baru” itu setelah para tokoh agama dan sejumlah mahasiswa PKL turun tangan memberi penyuluhan.
Maka sekarang mereka menjadi antipati terhadap setiap ajakan untuk berinvestasi, ‘cari cuan”, atau apa pun istilah yang dikatakan orang kota mengenai upaya mencari perubahan dan kemajuan ekonomi. Akibat dari hal tersebut, beberapa minggu lalu mereka “mengusir” sejumlah orang yang mengatakan mereka ingin mangajak penduduk mengubah masa depan dengan tanpa modal uang samasekali, dan cukup hanya bermodalkan ponsel.
Rombongan itu memakai kaos berwarna ungu dengan simbol lingkaran berwarna kuning emas di bagian depan. Di tengah lingkaran tersebut, Nampak sebuah simbol yang menyerupai huruf Cina. Kelompok orang yang nampaknya berniat baik tersebut terpaksa harus menelan kekecewaan karena di desa itu tidak ada yang mau mendengar perkataan mereka. (bersambung)